memang ini film yang udah lama, tapi baru aku tonton dan ternyata cukup filosofis, tetapi ini adalah pertanyaan dasar yang mungkin kita rasakan...
CIN(T)A
Cina ,adalah mahasiswa baru yang belum pernah
mengalami kegagalan dalam hidup, sehingga dia yakin bisa mewujudkan impiannya
hanya dengan modal iman.
Annisa , mahasiswi tingkat akhir yang
kuliahnya terhambat karena karirnya di dunia film. Popularitas dan kecantikan
membuatnya kesepian, sehingga ia bersahabat denga jarinya sendiri yang selalu
digambari bermuka sedih. Sampai suatu hari datang ‘jari’ lain yang menemani.
Agustus 2000, Cina baru
masuk menjadi mahasiswa baru di Jurusan Arsitektur, Institut Tekhnologi
Bandung. Di sanalah pertama kalinya dia bertemu dengan Annisa, mahasiswa
tingkat akhir yang kuliahnya terhambat karena karirnya sebagai bintang film dan
masalah keluarganya. Awalnya, Cina tidak menaruh perhatian pada Annisa,
meskipun teman-temannya kerap membicarakan Annisa yang notabenenya seorang artis.
Karena, menurut Cina, berdasarkan Hukum Newton I, kecantikan berbanding
terbalik dengan kepintaran. IPK Annisa yang hanya 2,1 membenarkan hukum newton
I versi Cina tersebut.
Cina, adalah orang Batak
keturunan tionghoa, yang beragama Kristen dan taat beribadah. Cita-citanya
ingin menjadi gubernur Tapanuli jika Tapanuli sudah menjadi sebuah provinsi.
Sedangkan Annisa, adalah muslim keturunan Jawa. Dia juga seorang bintang film
yang rajin beribadah.
Sebelum dekat, keduanya
menghadapi problematika hidupnya masing-masing. Cina, meskipun keturunan
Tionghoa, namun kehidupan ekonomi keluarganya pas-pasan. Itu sebabnya dia
bekerja paruh waktu dan berusaha mencari beasiswa untuk meringankan biaya
kuliahnya.
Sedangkan Annisa, seorang
bintang film yang kesepian karena popularitas dan kecantikannya. Di tambah
prestasinya yang buruk di perkuliahan, yang membuatnya di pergunjingkan. Itu
sebabnya dia bersahabat dengan telunjuk jarinya sendiri yang digambari wajah
sedih. Tugas Akhirnya pun terhambat. Dalam rancangan Tugas Akhirnya, Annisa
ingin membuat rumah susun untuk rakyat dengan fasilitas sekelas apartemen. Hal
itu yang membuat Tugas Akhirnya di tolak 3 kali karena proyek tersebut tidak
visibel di mata dosen.
Suatu ketika, Cina tidak
sengaja menabrak Annisa yang baru saja menyelesaikan maket proyek tugas
akhirnya hingga maket tersebut rusak. Tanpa sepengetahuan Annisa, Cina membuat
ulang maket Annisa. Namun, rancangan TA Annisa tetap di tolak karena prinsip
idealisme yang dipegangnya.
Cina pun tertarik untuk
membantu Annisa menyelesaikan Tugas Akhirnya. Apalagi mengetahui konsepan
proyek tersebut lebih jauh. Annisa ingin membuat desain rumah susun tersebut
tanpa desain pintu dan jendela. Karena baginya, arsitek itu berasa Tuhan.
Mereka pikir, mereka yang paling tahu konsepan terbaik untuk manusia, padahal
yang tahu konsepan terbaik yang sebenarnya adalah manusia itu sendiri.
Pertemuan yang intens, membuat
Cina dan Annisa semakin dekat. Karena perbedaan yang ada di antara mereka,
terjadilah dialog cinta yang banyak menggugat banyak perkara tentang cinta,
Tuhan, agama, dan kehidupan nyata. Salah satunya terlihat pada dialog antara
Cina dan Annisa mengenai siapa pendamping mereka kelak. Annisa yang sudah
dijodohkan Ibunya dengan seorang keturunan beragama Islam. Sedangkan Cina ingin
istrinya kelak mencintai Tuhannya lebih dari dirinya.
Banyak pula
pertanyaan-pertanyaan yang muncul di antara mereka, tapi tak pernah ada
konflik, seperti pertanyaan “Kenapa
Allah nyiptain kita beda-beda, kalau Allah cuma ingin di sembah dengan satu
cara?” Yang di lontarkan
Annisa.
Pada tahun itu, perayaan
Idul Fitri dan Hari Natal berdekatan. Cina pun membantu Annisa membuat ketupat,
sebaliknya Annisa juga membantu Cina menghias pohon natal.
Rasa emosi di antara
keduanya kemudian muncul ketika Cina dan Annisa memperdebatkan masalah
pengeboman gereja-gereja di Indonesia pada Hari Natal. Cina memutuskan untuk
mengambil beasiswanya ke Singapura yang belum di ambilnya karena dia mengambil
kuliah di ITB. Cina merasa kehadirannya sebagai orang Kristen tidak akan
diterima di Indonesia apalagi bila dia mewujudkan mimpinya menjadi gubernur,
karena dia menyadari bahwa mayoritas orang Indonesia adalah muslim. Sedangkan
Annisa, akhirnya menerima perjodohan dari Ibunya.
Film ini
adalah sebuah gambaran akan adanya pluralisme di Indonesia, namun masih tabu
untuk dibicarakan dalam ruang publik seperti film. Pandangan yang berbeda satu
sama lain, akan kehadiran Tuhan. Pada film ini sangat jelas adanya suatu
konflik yang implisit, baik konflik interpersonal maupun intrapersonal, yang
mengacu pada perbedaan agama. Perbedaan ini yang dipertanyakan, mengapa harus ada
perbedaan? Bila Tuhan hanya satu. Begitu pula tentang cinta, apakah benar cinta
itu dapat menyatukan perbedaan yang ada, walaupun itu tentang keyakinan akan
Tuhan, yang memberikan rasa cinta itu sendiri. Ini merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang teologis, dan filosofis.
Kedua tokoh
ini, layaknya manusia biasa, memiliki ketertarikan satu sama lain, memiliki
rasa saling ingin menyayangi. Mereka berdua merasakan kedekatan dan keintiman. Sayang,
semua itu terhalang oleh pandangan agama mereka yang berbeda. Pada film ini
jelas terlihat, bahwa keyakinan mereka sangat memengaruhi pandangan akan hidup
mereka. Terutama saat mereka melihat adanya peristiwa pengeboman di
gereja-gereja Indonesia. Peristiwa itu yang memicu konflik emosi keduanya,
karena berhubungan dengan kedua keyakinan yang mereka anut.
Film ini
sangatlah bagus, walaupun ini film indie, namun tema yang diangkat cukup bagus,
merepresentasikan kehidupan nyata di Indonesia, bahwa banyak sekali
perbedaan-perbedaan yang ada, tapi apakah benar itu bisa disatukan oleh cinta? Padahal
dari sisi agama , sama-sama menghendaki adanya kesamaan keyakinan dalam satu
cinta.
Ketika
pasangan menjalin hubungan dengan adanya dasar perbedaan yang cukup besar,
memang semua tergantung pada pasangan itu. Mungkin bagi mereka, faktor yang
paling penting dalam menjalin sebuah hubungan adalah cinta, kasih sayang, bukan
perbedaan-perbedaan seperti status sosial-ekonomi, ataupun agama. Namun, akan
banyak sekali tantangan bagi pasangan tersebut, baik dari lingkup individual,
hingga masyarakat. Masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang berpegang teguh pada norma dalam agama yang
ingin adanya kesamaan jika ingin menjalin hubungan hingga pernikahan. Hal ini
juga terpusat dari norma dalam agama tersebut, yang akhirnya membentuk pandangan
masyarakat, yang berimbas pada aturan dalam sistem keluarga. Tetapi tak jarang,
adanya keluarga yang mampu memberikan toleransi pada apa yang harus dilakukan
oleh anak-anaknya. Bila pernikahan sudah terjadi, harus banyak pertimbangan
termasuk landasan moral dalam keluarga itu. Ketika belum ada kesepakatan
mengenai aturan keluarga itu, bisa jadi akan terjadi konflik-konflik yang
membuat keutuhan rumah tangga itu terganggu.
Memang
butuh suatu kematangan dalam diri masing-masing ketika menghadapi adanya suatu
perbedaan dalam hubungan, entah dalam pertemanan hinggga kedekatan emosional
sampai pernikahan. Perlu pemikiran, hati dan jiwa toleransi akan adanya
perbedaan yang bisa menyesuaikan perbedaan-perbedaan itu. Namun, hal itu tidak
semua orang bisa melakukannya. Perbedaan di Indonesia, belumlah menjadi hal
yang indah.
resensi yg readable banget. nice.
BalasHapusterima kasih komentarnya :)
BalasHapus