Senin, 27 Mei 2013

cinta, akankah membuat satu ? sekilas resensi film :)

kali ini akan memposting perdana setelah vakum setahun dari postingan wakakakaka

memang ini film yang udah lama, tapi baru aku tonton dan ternyata cukup filosofis, tetapi ini adalah pertanyaan dasar yang mungkin kita rasakan...
 CIN(T)A

Cina ,adalah mahasiswa baru yang belum pernah mengalami kegagalan dalam hidup, sehingga dia yakin bisa mewujudkan impiannya hanya dengan modal iman.
Annisa , mahasiswi tingkat akhir yang kuliahnya terhambat karena karirnya di dunia film. Popularitas dan kecantikan membuatnya kesepian, sehingga ia bersahabat denga jarinya sendiri yang selalu digambari bermuka sedih. Sampai suatu hari datang ‘jari’ lain yang menemani.
Agustus 2000, Cina baru masuk menjadi mahasiswa baru di Jurusan Arsitektur, Institut Tekhnologi Bandung. Di sanalah pertama kalinya dia bertemu dengan Annisa, mahasiswa tingkat akhir yang kuliahnya terhambat karena karirnya sebagai bintang film dan masalah keluarganya. Awalnya, Cina tidak menaruh perhatian pada Annisa, meskipun teman-temannya kerap membicarakan Annisa yang notabenenya seorang artis. Karena, menurut Cina, berdasarkan Hukum Newton I, kecantikan berbanding terbalik dengan kepintaran. IPK Annisa yang hanya 2,1 membenarkan hukum newton I versi Cina tersebut.
Cina, adalah orang Batak keturunan tionghoa, yang beragama Kristen dan taat beribadah. Cita-citanya ingin menjadi gubernur Tapanuli jika Tapanuli sudah menjadi sebuah provinsi. Sedangkan Annisa, adalah muslim keturunan Jawa. Dia juga seorang bintang film yang rajin beribadah.
Sebelum dekat, keduanya menghadapi problematika hidupnya masing-masing. Cina, meskipun keturunan Tionghoa, namun kehidupan ekonomi keluarganya pas-pasan. Itu sebabnya dia bekerja paruh waktu dan berusaha mencari beasiswa untuk meringankan biaya kuliahnya.
Sedangkan Annisa, seorang bintang film yang kesepian karena popularitas dan kecantikannya. Di tambah prestasinya yang buruk di perkuliahan, yang membuatnya di pergunjingkan. Itu sebabnya dia bersahabat dengan telunjuk jarinya sendiri yang digambari wajah sedih. Tugas Akhirnya pun terhambat. Dalam rancangan Tugas Akhirnya, Annisa ingin membuat rumah susun untuk rakyat dengan fasilitas sekelas apartemen. Hal itu yang membuat Tugas Akhirnya di tolak 3 kali karena proyek tersebut tidak visibel di mata dosen.
Suatu ketika, Cina tidak sengaja menabrak Annisa yang baru saja menyelesaikan maket proyek tugas akhirnya hingga maket tersebut rusak. Tanpa sepengetahuan Annisa, Cina membuat ulang maket Annisa. Namun, rancangan TA Annisa tetap di tolak karena prinsip idealisme yang dipegangnya.
Cina pun tertarik untuk membantu Annisa menyelesaikan Tugas Akhirnya. Apalagi mengetahui konsepan proyek tersebut lebih jauh. Annisa ingin membuat desain rumah susun tersebut tanpa desain pintu dan jendela. Karena baginya, arsitek itu berasa Tuhan. Mereka pikir, mereka yang paling tahu konsepan terbaik untuk manusia, padahal yang tahu konsepan terbaik yang sebenarnya adalah manusia itu sendiri.
Pertemuan yang intens, membuat Cina dan Annisa semakin dekat. Karena perbedaan yang ada di antara mereka, terjadilah dialog cinta yang banyak menggugat banyak perkara tentang cinta, Tuhan, agama, dan kehidupan nyata. Salah satunya terlihat pada dialog antara Cina dan Annisa mengenai siapa pendamping mereka kelak. Annisa yang sudah dijodohkan Ibunya dengan seorang keturunan beragama Islam. Sedangkan Cina ingin istrinya kelak mencintai Tuhannya lebih dari dirinya.
Banyak pula pertanyaan-pertanyaan yang muncul di antara mereka, tapi tak pernah ada konflik, seperti pertanyaan “Kenapa Allah nyiptain kita beda-beda, kalau Allah cuma ingin di sembah dengan satu cara?” Yang di lontarkan Annisa.
Pada tahun itu, perayaan Idul Fitri dan Hari Natal berdekatan. Cina pun membantu Annisa membuat ketupat, sebaliknya Annisa juga membantu Cina menghias pohon natal.
Rasa emosi di antara keduanya kemudian muncul ketika Cina dan Annisa memperdebatkan masalah pengeboman gereja-gereja di Indonesia pada Hari Natal. Cina memutuskan untuk mengambil beasiswanya ke Singapura yang belum di ambilnya karena dia mengambil kuliah di ITB. Cina merasa kehadirannya sebagai orang Kristen tidak akan diterima di Indonesia apalagi bila dia mewujudkan mimpinya menjadi gubernur, karena dia menyadari bahwa mayoritas orang Indonesia adalah muslim. Sedangkan Annisa, akhirnya menerima perjodohan dari Ibunya.



Film ini adalah sebuah gambaran akan adanya pluralisme di Indonesia, namun masih tabu untuk dibicarakan dalam ruang publik seperti film. Pandangan yang berbeda satu sama lain, akan kehadiran Tuhan. Pada film ini sangat jelas adanya suatu konflik yang implisit, baik konflik interpersonal maupun intrapersonal, yang mengacu pada perbedaan agama. Perbedaan ini yang dipertanyakan, mengapa harus ada perbedaan? Bila Tuhan hanya satu. Begitu pula tentang cinta, apakah benar cinta itu dapat menyatukan perbedaan yang ada, walaupun itu tentang keyakinan akan Tuhan, yang memberikan rasa cinta itu sendiri. Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang teologis, dan filosofis.
Kedua tokoh ini, layaknya manusia biasa, memiliki ketertarikan satu sama lain, memiliki rasa saling ingin menyayangi. Mereka berdua merasakan kedekatan dan keintiman. Sayang, semua itu terhalang oleh pandangan agama mereka yang berbeda. Pada film ini jelas terlihat, bahwa keyakinan mereka sangat memengaruhi pandangan akan hidup mereka. Terutama saat mereka melihat adanya peristiwa pengeboman di gereja-gereja Indonesia. Peristiwa itu yang memicu konflik emosi keduanya, karena berhubungan dengan kedua keyakinan yang mereka anut.
Film ini sangatlah bagus, walaupun ini film indie, namun tema yang diangkat cukup bagus, merepresentasikan kehidupan nyata di Indonesia, bahwa banyak sekali perbedaan-perbedaan yang ada, tapi apakah benar itu bisa disatukan oleh cinta? Padahal dari sisi agama , sama-sama menghendaki adanya kesamaan keyakinan dalam satu cinta.
Ketika pasangan menjalin hubungan dengan adanya dasar perbedaan yang cukup besar, memang semua tergantung pada pasangan itu. Mungkin bagi mereka, faktor yang paling penting dalam menjalin sebuah hubungan adalah cinta, kasih sayang, bukan perbedaan-perbedaan seperti status sosial-ekonomi, ataupun agama. Namun, akan banyak sekali tantangan bagi pasangan tersebut, baik dari lingkup individual, hingga masyarakat. Masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang  berpegang teguh pada norma dalam agama yang ingin adanya kesamaan jika ingin menjalin hubungan hingga pernikahan. Hal ini juga terpusat dari norma dalam agama tersebut, yang akhirnya membentuk pandangan masyarakat, yang berimbas pada aturan dalam sistem keluarga. Tetapi tak jarang, adanya keluarga yang mampu memberikan toleransi pada apa yang harus dilakukan oleh anak-anaknya. Bila pernikahan sudah terjadi, harus banyak pertimbangan termasuk landasan moral dalam keluarga itu. Ketika belum ada kesepakatan mengenai aturan keluarga itu, bisa jadi akan terjadi konflik-konflik yang membuat keutuhan rumah tangga itu terganggu.
Memang butuh suatu kematangan dalam diri masing-masing ketika menghadapi adanya suatu perbedaan dalam hubungan, entah dalam pertemanan hinggga kedekatan emosional sampai pernikahan. Perlu pemikiran, hati dan jiwa toleransi akan adanya perbedaan yang bisa menyesuaikan perbedaan-perbedaan itu. Namun, hal itu tidak semua orang bisa melakukannya. Perbedaan di Indonesia, belumlah menjadi hal yang indah.


2 komentar: